Saturday, January 19, 2013

Review Kejahatan Kerah Putih



Penyalahgunaan Dana BLBI sebagai Kejahatan
Kerah Putih di Indonesia

            Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia. Ribuan nasabah berbondong-bondong menarik uang yang mereka simpan di bank-bank nasional, akibatnya sejumlah bank swasta kekurangan likuiditas. Sebagai lender of last resort, BI telah mengucurkan dana BLBI kepada 48 bank sebesar Rp 144,5 triliun, ditambah Rp 14,447 triliun per 29 Januari 1999, sehingga totalnya menjadi Rp 158,947 triliun. Niatnya baik  yaitu untuk menolong bank-bank yang sekarat di saat krisis moneter. Pemerintah memberikan jaminan atas kewajiban bank umum dengan mengeluarkan Kepuhtsan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998.
Pada tanggal November 1997 pemerintah melikuidasi 17 bank swasta dari 48 bank penerima BLBI karena tak mampu lagi melanjutkan usaha akibat tekanan penarikan dana dalam jumlah besar. Dana BLBI dari 17 bank yang ditutup itu sebesar Rp 11,89 triliun, sampai saat ini dana yang kembali ke kas negara baru Rp 2,96 triliun. Betapa berlarut – larutnya pemerintah menyelesaikan kasus BLBI dalam sejarah republik ini.
            Protes, demonstrasi, sampai gugatan terhadap pemerintah dan uji materiil terhadap kebijakan pemerintah telah sering dilakukan, tetapi hukum dan pemerintah tidak mampu juga menjebloskan pengemplang BLBI ke penjara apalagi menyita harta – harta mereka.
Penyalahgunaan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang  dilakukan para  bankir dari bank pemerintah dan bank swasta penerima BLBI merupakan salah satu bentuk kejahatan bisinis. Jumlah dana yang  disalahgunakan tidak tanggung-tanggung yaitu  sedikitnya bernilai Rp 320  triliun. Tragisnya, kerugian negara itu  kini menjadi beban seluruh rakyat. Kenaikan pajak, harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listik  (TDL), dan sebagainya merupakan imbas dari penyalahgunaan dana BLBI tersebut yang melibatkan banyak konglomerat kakap.
            Bank pemerintah penerima BLBI, adalah BRI Rp 8,174 triliun, BNI  Rp 2,550 triliun, BTN Rp 1,453 triliun, dan empat bank yang tergabung dalam Bank Mandiri Rp 163,195 triliun. Keempat bank yang menjadi cikal  bakal Bank Mandiri adalah Bank Exim Rp 101,847 triliun, Bapindo Rp 40,396 triliun, Bank Burrri Daya (BBD) Rp 11,279 triliun, dan Bank Dagang Negara (BON) Rp 8,673 triliun.
            Selama ini, pemerintah hanya memperhatikan BLBI senilai Rp 144,5  triliun yang diterima 48 bank umum swasta nasional. Bagaimana dengan BLBI sebesar Rp 175,3 triliun yang diterima bank BUMN? Apakah tak ada debitor besar yang ikut bertanggung jawab? Sangat mungkin, konglomerat lain di zaman orde baru ikut terlibat. Jumlah itu  semakin membesar ketika suku bunga meningkat di era mantan Presiden BJ Habibi, sehingga beban  obligasi pun juga terus membesar. Pada periode 2004 - 2009, bunga dan cicilan obligasi yang ditanggung APBN bisa mencapai Rp 100 triliun  per tahun. Akibat bunga obligasi yang begitu besar, biaya untuk pendidikan, kesehatan, perbaikan infrastruktur pemeliharaan jalan, dan sebagainya tersedot, pada tahun anggaran berjalan, pengeluaran pembangunan hanya Rp 46 triliun  atau 75 persen dari bunga obligasi.
            Siapa penerima BLBI terbesar? Hasil audit BPK mengemukakan, pada  awalnya, penerima BLBI terbesar adalah Bank Central Asia (BCA). Dalam  perkembangan, sebagian dana BLBI itu bisa  dikembalikan, sehingga pada 29 Januari 1999, posisi  BLBI yang diterima BCA sebesar  Rp 26,6 triliun.
            Posisi  BLBI terbesar pada periode itu  adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yakni sebesar Rp 37 triliun. Peringkat ketiga dan ke­ empat, adalah Bank Danamon Indonesia sebesar Rp 23 triliun dan Bank Umum Nasional (BUN) sebesar Rp 12 triliun. BLBI yang diterima BDNI, BCA, Danamon, dan BUN sebesar Rp 98,7 triliun atau 68 persen dari total BLBI yang  dikucurkan ke 48 bank  umum swasta.
            Pada hasil audit BPK, 31Juli 2000 disebutkan, dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank  umum nasional itu, sebesar  138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan berpotensi merugikan negara, karena kurang jelas penggunaannya. Dari jumlah tersebut, auditor resmi pemerintah itu menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8 triliun antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk membiayai kontrak derivatif alias spekulasi valas.
            Audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli 2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 54,5 triliun, terdiri atas Rp 53,4 triliun penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi (TPK) dan  tindak pidana perbankan (TPP) dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan non-TPK / non-TPP. Penyalahgunaan non-TPK / non-TPP adalah perbuatan yang melanggar ketentuan yang  berlaku, tapi tak masuk kategori TPK/ TPP.
            Penyalahgunaan BLBI paling besar, derrrikian hasil audit BPKP itu,  adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kewajiban kepada pihak  terkait.


                Berdasarkan uraian tersebut di atas, rnaka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penyalahgunaan dana BLBI yang dilakukan oleh para bankir BUMN / swasta adalah termasuk kejahatan kerah putih (white collar crime) karena pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya. Para bankir dan pemilik bank tersebut telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tujuan pokok dikeluarkannya dana BLBI yang tujuan utamanya untuk rnenjaga stabilitas moneter dan memperbaiki kinerja manajemen perbankan nasional di saat kesulitan likuiditas akibat krisis moneter pada bulan Juli 1997. Lewat pengucuran BLBI, pemerintah memberikan jaminan terselubung (blanket guarantee) kepada masyarakat penyimpan dana bahwa uang simpanannya di bank-bank nasional tidak akan hilang jika terjadi sesuatu atas bank  tersebut.


Sumber :

No comments:

Post a Comment