Penyalahgunaan
Dana BLBI sebagai Kejahatan
Kerah Putih di Indonesia
Tahun 1997 krisis moneter melanda
Indonesia. Ribuan nasabah berbondong-bondong menarik uang yang mereka simpan di
bank-bank nasional, akibatnya sejumlah bank swasta kekurangan likuiditas.
Sebagai lender of last resort, BI telah mengucurkan dana BLBI kepada 48 bank
sebesar Rp 144,5 triliun, ditambah Rp 14,447 triliun per 29 Januari 1999,
sehingga totalnya menjadi Rp 158,947 triliun. Niatnya baik yaitu untuk menolong bank-bank yang sekarat
di saat krisis moneter. Pemerintah memberikan jaminan atas kewajiban bank umum
dengan mengeluarkan Kepuhtsan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998.
Pada
tanggal November 1997 pemerintah melikuidasi 17 bank swasta dari 48 bank
penerima BLBI karena tak mampu lagi melanjutkan usaha akibat tekanan penarikan
dana dalam jumlah besar. Dana BLBI dari 17 bank yang ditutup itu sebesar Rp
11,89 triliun, sampai saat ini dana yang kembali ke kas negara baru Rp 2,96
triliun. Betapa berlarut – larutnya pemerintah menyelesaikan kasus BLBI dalam
sejarah republik ini.
Protes, demonstrasi, sampai gugatan
terhadap pemerintah dan uji materiil terhadap kebijakan pemerintah telah sering
dilakukan, tetapi hukum dan pemerintah tidak mampu juga menjebloskan
pengemplang BLBI ke penjara apalagi menyita harta – harta mereka.
Penyalahgunaan
dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dilakukan para bankir dari bank pemerintah dan bank swasta
penerima BLBI merupakan salah satu bentuk kejahatan bisinis. Jumlah dana
yang disalahgunakan tidak
tanggung-tanggung yaitu sedikitnya
bernilai Rp 320 triliun. Tragisnya,
kerugian negara itu kini menjadi beban
seluruh rakyat. Kenaikan pajak, harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar
listik (TDL), dan sebagainya merupakan
imbas dari penyalahgunaan dana BLBI tersebut yang melibatkan banyak konglomerat
kakap.
Bank pemerintah penerima BLBI, adalah
BRI Rp 8,174 triliun, BNI Rp 2,550
triliun, BTN Rp 1,453 triliun, dan empat bank yang tergabung dalam Bank Mandiri
Rp 163,195 triliun. Keempat bank yang menjadi cikal bakal Bank Mandiri adalah Bank Exim Rp
101,847 triliun, Bapindo Rp 40,396 triliun, Bank Burrri Daya (BBD) Rp 11,279
triliun, dan Bank Dagang Negara (BON) Rp 8,673 triliun.
Selama ini, pemerintah hanya
memperhatikan BLBI senilai Rp 144,5
triliun yang diterima 48 bank umum swasta nasional. Bagaimana dengan
BLBI sebesar Rp 175,3 triliun yang diterima bank BUMN? Apakah tak ada debitor
besar yang ikut bertanggung jawab? Sangat mungkin, konglomerat lain di zaman
orde baru ikut terlibat. Jumlah itu
semakin membesar ketika suku bunga meningkat di era mantan Presiden BJ
Habibi, sehingga beban obligasi pun juga
terus membesar. Pada periode 2004 - 2009, bunga dan cicilan obligasi yang
ditanggung APBN bisa mencapai Rp 100 triliun
per tahun. Akibat bunga obligasi yang begitu besar, biaya untuk
pendidikan, kesehatan, perbaikan infrastruktur pemeliharaan jalan, dan
sebagainya tersedot, pada tahun anggaran berjalan, pengeluaran pembangunan
hanya Rp 46 triliun atau 75 persen dari
bunga obligasi.
Siapa penerima BLBI terbesar? Hasil
audit BPK mengemukakan, pada awalnya,
penerima BLBI terbesar adalah Bank Central Asia (BCA). Dalam perkembangan, sebagian dana BLBI itu
bisa dikembalikan, sehingga pada 29
Januari 1999, posisi BLBI yang diterima
BCA sebesar Rp 26,6 triliun.
Posisi BLBI terbesar pada periode itu adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI),
yakni sebesar Rp 37 triliun. Peringkat ketiga dan ke empat, adalah Bank
Danamon Indonesia sebesar Rp 23 triliun dan Bank Umum Nasional (BUN) sebesar Rp
12 triliun. BLBI yang diterima BDNI, BCA, Danamon, dan BUN sebesar Rp 98,7
triliun atau 68 persen dari total BLBI yang
dikucurkan ke 48 bank umum
swasta.
Pada hasil audit BPK, 31Juli 2000
disebutkan, dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum nasional itu, sebesar 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan
berpotensi merugikan negara, karena kurang jelas penggunaannya. Dari jumlah
tersebut, auditor resmi pemerintah itu menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8
triliun antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk membiayai kontrak
derivatif alias spekulasi valas.
Audit yang dilakukan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI, 17
Juli 2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 54,5 triliun, terdiri atas Rp
53,4 triliun penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi (TPK)
dan tindak pidana perbankan (TPP) dan Rp
1,159 triliun penyalahgunaan non-TPK / non-TPP. Penyalahgunaan non-TPK / non-TPP
adalah perbuatan yang melanggar ketentuan yang
berlaku, tapi tak masuk kategori TPK/ TPP.
Penyalahgunaan BLBI paling besar,
derrrikian hasil audit BPKP itu, adalah
spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kewajiban kepada
pihak terkait.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, rnaka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penyalahgunaan
dana BLBI yang dilakukan oleh para bankir BUMN / swasta adalah termasuk
kejahatan kerah putih (white collar crime)
karena pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang
tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya. Para bankir dan pemilik bank tersebut
telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tujuan pokok dikeluarkannya
dana BLBI yang tujuan utamanya untuk rnenjaga stabilitas moneter dan
memperbaiki kinerja manajemen perbankan nasional di saat kesulitan likuiditas akibat
krisis moneter pada bulan Juli 1997. Lewat pengucuran BLBI,
pemerintah memberikan jaminan terselubung (blanket guarantee) kepada masyarakat
penyimpan dana bahwa uang simpanannya di bank-bank nasional tidak akan hilang
jika terjadi sesuatu atas bank tersebut.
Sumber
: